Tim Lintas Kementerian Turun ke Pertambangan Emas Gunung Botak

TIM lintas kementerian di bawah koordinasi Kemenko Kemaritiman turun ke Gunung Botak di Pulau Buru, Provinsi Maluku pada 26 Maret 2019. Rencananya, tambang emas ilegal yang telah ditutup itu akan diambil alih penyelesaian masalahnya oleh Pemerintah Pusat lewat Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Diantaranya ada Deputi Bidang Infrastruktur Kemenko Kemaritiman Ridwan Djamaludin, Deputi V Kemenko Polhukam Irjen Carlo Tewu, perwakilan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, perwakilan PT Timah dan Antam, serta perwakilan pemerintah daerah setempat.
Kapolda Maluku Irjen Pol Royke Lomawa yang dinilai berhasil menutup pertambangan liar di Gunung Botak juga turut mendampingi. Sebelumnya, berkali-kali ditutup, namun para penambang kembali lagi ke sana.
Keputusan mengambil alih pengelolaan Gunung Botak dilakukan lantaran selama ini sering terjadi konflik sosial di sana, selain juga parahnya pencemaran lingkungan. Hal lain: masyarakat tak merasakan manfaat dari keberadaan pertambangan itu.
Sebelumnya, pemerintah daerah juga pernah menggandeng tiga perusahaan swasta untuk menata kembali lingkungan yang telah rusak akibat aktivitas pertambangan ilegal. Namun, persoalan tak juga selesai. Para penambang kembali datang. Konflik kembali terjadi. Selain itu, pertambangan ilegal itu mengabaikan aspek kelestarian lingkungan. Penggunaan limbah beracun dan bahan berbahaya (B3) seperti merkuri dan sianida tak terkendali.
Salah satu pola penyelesaian yang ingin diterapkan adalah melibatkan BUMN untuk mengelola pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup dan tetap melibatkan masyarakat adat setempat. Sehingga penggunaan bahan kimia berbahaya bisa dikelola, namun tanpa meninggalkan masyarakat adat setempat.
Sekedar informasi, tambang liar itu terakhir kali ditutup pada Oktober 2018. Penutupan dilakukan setelah ramai pemberitaan tentang dampak penggunaan merkuri dan sianida terhadap warga setempat pada November 2015. Sebelumnya, pernah ditutup, tapi pada 2017 para penambang kembali berduyun-duyun datang kesana.
Para penambang liar mulai merambah Gunung Botak sejak Oktober 2011. Otoritas setempat mencatat, jumlah penambang mencapai 20 ribu orang di areal seluas 250 hektare itu. Konflik pun merebak. Komando Distrik Militer 1506/Namlea mencatat, hingga 2016 sering terjadi perampokan, pembunuhan dan longsoran tanah akibat galian tambang. Karenanya, lebih dari 1.500 orang tewas.
Deputi V Kementerian Polhukam Irjen Carlo Tewu menambahkan, pola penyelesaian permasalahan tambang emas di Gunung Botak ini, jika berjalan dengan baik, dapat diadopsi untuk menyelesaikan persoalan serupa pada pertambangan emas liar yang banyak tersebar di hampir semua provinsi di wilayah Indonesia.[]