Entrepreneur muda, Franseda Natalio, ini menjalani kehidupan sangat berliku. Membiayai kuliah dari jualan online, bahkan menyelesaikan pendidikan hingga S2. Dialah sosok di belakang Nature Republic di Indonesia.
SEBUAH gerai di Mall Taman Anggrek, Jakarta Barat, pada pagi Sabtu (24/11), sangat ramai dipenuhi pelanggan. Mereka mengantre untuk belanja, sampai-sampai diberikan alur pembatas agar tertib.
Itulah gerai Nature Republic yang baru buka di Taman Anggrek Mall, secara keseluruhan produk kosmetik ini sudah memiliki 15 gerai di Indonesia. "Awal Desember mendatang kami buka yang ke 16 di Summarecon Bekasi," kata Frans Natalio, pemilik gerai.
Video Pembukaan Gerai Nature Republic
Berwajah tampan, pemuda berusia 31 tahun ini bukan membangun binis dengan mudah. Ia melewati serangkaian kerja keras sebab bukan mengusung modal dari keluarga yang kaya. Frans memulai semuanya dari nol.
Bahkan, untuk membiayai kuliahnya pun dari hasil usaha kecil-kecilan yang dilakukannya. Frans memang tak pernah melupakan pendidikan, ia adalah jebolan S2 Manajemen Universitas Tri Sakti.
Kendati bekerja keras, ayah saya tetap saja dipecat ketika perusahaan kesusahan. Kondisi itu terjadi saat krisis moneter pada 1998, perusahaan itu bangkrut.
Bagaimana ia membangun bisnisnya, berikut bincang-bincang wartawan bizlaw.id di Mall Taman Anggrek, Sabtu lalu. Berikut petikannya:
Berbisnis di usia muda tentu memiliki cerita tersendiri, bisakah berbagi cerita itu?
Saya memang sudah menanamkan tekad saya untuk menjadi entrepreneur sedar awal. Saya tak ingin menjadi seorang pekerja saja. Walau saya pernah bekerja pada orang lain, namun pada kesempatan bekerja itu saya mempelajari seluk beluk berbisnis itu.
Yang membuat Anda benar-benar bertekad berbisnis itu awal mulanya bagaimana?
Begini, saya melihat pada perjalanan hidup orang tua saya sendiri. Ayah saya adalah seorang mekanik yang bekerja di kapal. Saya lihat beliau sangat bekerja keras untuk menghidupi keluarga, kadang tiga bulan sekali baru pulang ke rumah, sebab sebagai mekanik maka beliau juga ikut berlayar.
Kendati bekerja keras, beliau tetap saja dipecat ketika perusahaan kesusahan. Kondisi itu terjadi saat krisis moneter pada 1998, sebab perusahaan itu bangkrut. Akhirnya untuk menghidupi keluarga beliau menjual satu per satu hartanya yang sudah dikumpul bertahun-tahun.
Jadi kalau ada yang beli, saya mampir dulu ke Roxy Mas membeli pesanan dan ke kampus kuliah juga sambil membungkus barang, pulang dari kuliah mampir ke Tiki dan megirimnya.
Tentu saya sangat sedih melihat perjuangan orang tua saya, dari situ pula saya bertekad untuk mendirikan usaha sendiri. Saya benar-benar menghindari menjadi pegawai atau bekerja di tempat usaha milik orang lain. Sebesar apapun perusahaan orang, bagi saya lebih baik membangun bisnis sendiri.
Lalu dengan kondisi demikian, bagaimana caranya membangun bisnis sendiri?
Memang benar harus berusaha keras. Saya pertamakali mulai usaha itu 2006, saya waktu pertama kali kuliah saja saya tak ada duit, jadi benar-benar dari nol. Saya kuliah di STIE Trisakti.
Bahkan waktu pertama kali kuliah saya menjual motor, saya jual Rp6,5 juta, lalu Rp5 juta saya bayar kuliah, sisanya saya kredit lagi motor untuk tiga tahun.
Lalu dari situ saya melakukan jualan online, membuka website, yang gratisan, pakai blog waktu itu, di situ saya jualan memori card hand phone, jadi kalau ada yang beli, saya mampir dulu ke Roxy Mas membeli pesanan dan ke kampus kuliah juga sambil membungkus barang, pulang dari kuliah mampir ke Tiki dan megirimnya.
Jadi begitu terus setiap hari. Dari situlah saya kumpul-kumpulkan uang untuk membiaya kuliah saya. Terus dari situ, 2008 saya mulai kerja sama orang, saya dipecaya jadi manejer, gaji saya waktu itu Rp2,5 juta. Gaji itu saya gunakan untuk makan seperlunya, dan saya masih mencari uang dari internet juga.
Selanjutnya?
Lalu uang yang saya kumpulin itu, lalu mendirikan peternakan itik. Jadi waktu itu saya mendengar kata orang yang menyebutkan dari ternak itik itu bisa untung sampai 70 persen. Saya percaya. Saya beli 500 ekor, dari remaja saya beli sampai usia bertelor. Tapi cuma 15 ekor yang bertelur per hari. Tapi yang mati sampai 17 ekor per hari, jadi lama-lama habis. Saya gagal.
Lalu saya masuk ke penjualan MLM, kemudian masuk dunia asuransi, juga gagal. Kemudian saya sempat menyewa kios di pasar, menjual bibit parfum. Ketikda sudah mulai jalan, eh tiba-tiba di depan kios saya ada toko yang membuka bisnis yang sama. Saya kalah.
Anda belum menyerah?
Belum. Jadi, hal-hal seperti itulah yang terjadi. Jadi dari berbagai kegagalan itu saya belajar terus. Sampai akhirnya lima tahun lalu saya mendirikan perusahaan telekomunikasi, saya bekerja sama dengan beberapa teman saya. Karyawan pertama saya empat orang, dalam waktu empat tahun kita sudah memiliki 400 karyawan.
Tapi memakin ke depan, service makin ditekan terus oleh costumer saya. Lalu saya keluar dari bisnis itu, dan berfikir untuk membuka bisnis lain lagi. Saya ingin bermain di ritel. Harusnya dari pengalaman yang sudah saya jalani, saya mengerti dasar-dasar bisnis ritel itu.
Apa yang Anda lihat di era sekarang?
Jadi era sekarang kan semuanya sudah digital, anak-anak muda itu tidak melihat lagi ke arah bilboard di jalan-jalan atau tidak lagi menonton televisi, semuanya di tangan mereka, mereka melihat ke sosial media.
Bagaimana ceritanya sampai berfikir berbisnis kosmetik?
Sebetulnya, masih berkaitan dengan anak-anak muda. Saya berfikir dan mencari-cari produk kalau orang yang sudah beli lalu dia akan beli. Maka saya melihat kosmetik sangat pas.
Mengapa memilih kosmetik, kenapa nggak bisnis kursi roda saja, itu misalnya?
Begini, menurut pendapat saya, jika saya bisnis kursi roda kan marketnya kecil. Walaupun kursi roda tetap penting juga dan merupakan upaya menolong orang, namun saya tidak cocok untuk bisnis itu. Sebab saya sulit untuk memasarkannya. Pembelinya juga sedikit.
Bagaimana dengan kosmetik?
Kalau kosmetik yang bagus dan disukai maka si costumer akan membelinya lagi. Artinya kita cukup merawat yang ada dan mencari yang baru lagi, maka makin lama makin besar.
Maka saya pun fight mencari produk apa yang cocok, akhirnya saya dapat Nature Republic dari Korea Selatan. Sebenarnya produk ini pernah masuk ke Indonesia pada 2011, namun tutup setahun kemudian, tidak bisa jalan sama sekali.
Tahun pertama ini sebenarnya targetnya hanyalah tiga store saja, ternyata responnya bagus, maka sampai hari ini sudah ada 15 store.
Mengapa mengambil produk yang pernah gagal di Indonesia?
Saya percaya itu produk yang bagus, cuma kita butuh cara memasarkannya di era sekarang ini. Seperti saya katakan tadi, bahwa sekarang kan era digital, maka pemasarannya juga harus mengikuti perkembangan kekinian. Tentu saya harus bermain ke ranah digital. Maka itulah yang saya lakukan.
Sesederhana itukah?
Pastinya harus bekerja keras. Misalnya, sebelum terjun langsung memasarkan produk, saya kan harus mempelajari anatomi bisnis ini. Salah satu cara yang saya tempuh, saya mengambil waktu selama sebulan untuk menongkrongi gerai kompetitor. Saya ambil waktu di hari biasa, week end, dan holliday.
Saya catat detail perkembangannya, mulai dari jumlah konsumen yang datang, bagaimana transaksinya, hingga pendapatan yang diperolehnya, dan tentu saja saya pelajari juga perilaku konsumennya. Setelah itu, baru saya menjalankannya.
Lalu, hasilnya bagaimana?
Ya pada awal 2018 ini kami membawa Nature Republic kembali ke Indonesia, kita konsen untuk memasarkannya. Maka itu kami masuk dan kami ada sampai hari ini. Tahun pertama ini sebenarnya targetnya hanyalah tiga store saja, ternyata responnya bagus, maka sampai hari ini sudah ada 15 store, Desember ini akan buka yang ke 16 store di Summarecon Mall Serponng.
Apa yang Anda lihat dari usaha sendiri itu?
Kalau kita berhasil dalam berbisnis, kita bisa membantu kesusahan orang, kalau ada anak-anak muda memiliki semangat yang bagus, maka kita gandeng lalu membikin tim yang strong. Saya sekarang mulai mendidik adik saya untuk mengembangkan bisnis juga. []
Presiden Galau, Pertamina Disentil https://t.co/MiezCfV7Dx #jokowi #minyak #pertamina #luhut
— Bizlaw.Id (@Bizlaw_id) December 2, 2018